Jumat, 01 Oktober 2010

Surga Hutan Rawa Gambut

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu. Inilah hamparan keindahan zona inti Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit-Batu yang masih terbalut hutan perawan. Bayangkan bila suatu hari nanti, Gubernur Riau yang berpidato di forum internasional MAB UNESCO. Memperkenalkan kepada dunia bahwa di Bumi Lancang Kuning. Tersimpan surga...

Tersimpan surga hutan rawa gambut yang khas yang terjaga dengan baik. Bersinergi pula dengan dunia industri dan kehidupan masyarakat sekitar yang sejahtera. Menjadi tempat pusat riset gambut dan herbarium tanaman kawasan rawa gambut nan khas yang tiada duanya di dunia.

Kesempatan untuk tampil di pentas dunia itu bukanlah hal yang mustahil. Setidaknya itu telah dimulai dari pengakuan dunia terhadap keberadaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu (GSK-BB) pada sidang 21st Session of the International Coordinating Council of the Man and the Biosphere Programme UNESCO di Jeju Korea, akhir Mei lalu. Pertemuan MAB UNESCO pertama di luar Paris itu, diharapkan berulang di Indonesia tepatnya di bumi Riau. Begitulah harapan yang diungkapan oleh Ketua Program MAB UNESCO Indonesia Prof Endang Sukara dalam Diskusi Liputan Khusus Riau Pos di Kantor Redaksi Riau Pos, Rabu (17/6).
“Saya membayangkan hal itu bisa terwujud, walaupun mungkin saat itu saya justru sudah pensiun. Saya berharap itu bisa terlaksana di 2011,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Mengapa cagar biosfer yang menjadi jalan dan kekuatan Riau untuk tampil di pentas dunia? Menurut Endang jawabannya terletak karena cagar biosferlah satu-satunya konsep kawasan konservasi dan budidaya yang diakui secara internasional. Memiliki jaringan pada 553 cagar biosfer di seluruh dunia di 107 negara. Sebagai sebuah jaringan yang kuat untuk saling mempromosikan dan tukar menukar ilmu dan pengalaman, dipastikan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu yang memang tiada duanya di dunia karena khas hutan rawa gambut akan berkembang pesat.

Kepercayaan itu telah diberikan, kini tinggal bagaimana masyarakat Riau bersama pemerintahannya merespon kepercayaan dunia tersebut. Apalagi cagar biosfer itu lahir tidak seperti cagar biosfer lainnya di Indonesia yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun cagar biosfer ketujuh di Indonesia setelah lebih dari 27 tahun cagar biosfer keenam ditunjuk berasal dari inisiasi swasta bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA). Sebuah kerja sama dengan niat baik, yaitu menjaga hutan rawa gambut nan perawan yang masih tersisa tak jauh dari garis khatulistiwa tepat berada di wilayah kabupaten Bengkalis dan Siak.

Menurut Kepala BBKSDA Rahman Siddik, Rabu (17/6), saat dia bersama-sama Sinar Mas Forestry menginisasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu, itu dilatarbelakangi keinginannya untuk memberi citra bagi Provinsi Riau tempat dia bertugas. Selama ini, menurutnya, Riau selalu disebut-sebut dengan negeri pengekspor asap, tempat pembalakan liar, perambahan (okupasi) liar dan hal negatif lainnya. Maka ketika tahun 2007, dia bertemu dan diyakinkan oleh niat baik dari orang-orang konservasi yang berada di Sinar Mas Forestry pentingnya keberadaan cagar biosfer tersebut, dia pun tanpa ragu ikut bersama-sama menginisiasi.

Apalagi dia mengakui bahwa kawasan konservasi yang berada di dalam cagar biosfer itu, yakni Suaka Margasatwa (SM) Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu yang kondisinya masih relatif baik dan aman itu, sangat rentan. Tidak saja rentan dengan kegiatan illegal logging tetapi juga okupasi liar, penyeludupan dan kebakaran hutan. Kondisi itulah yang menurutnya membuat BBKSDA yang berkewajiban mengamankan kawasan itu membutuhkan mitra yang mau turut serta menjaga kawasan itu. Dalam hal ini mitra itu adalah Sinar Mas Forestry yang memiliki konsesi hutan produksi di kawasan itu.

Sementara itu General Manager Humas Sinar Mas Forestry (SMF) Nazaruddin, Rabu (17/6), mengungkapkan upaya Sinar Mas Forestry untuk menginisiasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu telah dimulai pada tahun 2004. SMF bersama mitra kerjanya dengan dukungan APP menyisihkan areal hutan produksi seluas 72.255 hektare (lebih luas dari wilayah DKI Jakarta atau Singapura) sebagai koridor ekologis. Dengan demikian hutan rawa gambut Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil seluas 84.967 hektare dan Suaka Margasatwa Bukit Batu seluas 21.500 hektare yang merupakan bagian dari eco-region hutan Sumatera dapat tergabung menjadi sebuah kawasan konservasi. Kawasan itulah yang kemudian dijadikan sebagai areal inti cagar biosfer seluas 178.722 hektare.

Diluar kawasan inti, sebagian besar adalah hutan tanaman yang juga milik konsesi SMF. Kondisi itu memudahkan SMF mengamankan kawasan zona inti dari tangan-tangan yang merusak kawasan koservasi yang ada di dalamnya. Dalam konsep cagar biosfer, kawasan hutan tanamannya itu menjadi zona penyangga. Kawasan hutan tanamannya yang seluas 222.425 hektare di sekitar cagar biosfer tadi menjadi kunci efektivitas perlindungan area inti, karena selalu mendapatkan pengelolaan dan pengawasan yang baik.

Zona inti yang merupakan kawasan konservasi dan juga kawasan penyangga, menurut Rahman Siddik, akan dikelolah oleh BBKSDA bersama SMF. Namun ada zona lain yaitu zona transisi dan sebagian zona penyangga lainnya yang juga harus dikelolah dengan bermitra dengan masyarakat dan pemerintah. Pasalnya di zona itulah masyarakat atau penduduk di sekitarnya hidup dan menggantungkan diri pada kelestarian zona inti. Disitulah menurut Endang Sukara diperlukan peran pemerintah kabupaten dan provinsi. Untuk berinvestasi bagi kemaslahatan masyarakat sekitarnya dan Riau umumnya.

Di kawasan itu pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan konsep cagar biosfer yang berkelanjutan atau ramah lingkungan dikembangkan. Begitu pula pentingnya membangun pusat riset khas hutan rawa gambut di zona transisi dan penyangga.

“Di dunia ini ada tiga pembagian negara, yakni negara miskin, negara maju dan negara berkembang. Biasanya negara-negara maju itu adalah negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang minim namun memiliki sumber daya manusia (SDM) yang pintar. Sementara negara-negara miskin adalah negara yang SDA dan SDM-nya rendah. Indonesia berada di daerah yang SDA-nya tinggi, namun SDM-nya rendah. Coba bayangkan kalau Indonesia dengan SDAnya tinggi ditambah dengan SDMnya tinggi?” ujar Endang.

Untuk itulah diperlukan riset dan penelitian-penelitian yang memungkinkan Riau bisa mengeksplorasi kekayaan alamnya yang luar biasa. Terutama sebagai pusat riset gambut tropis yang tiada duanya di dunia. “Saya ingin sampaikan bahwa beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai flora dan fauna yang ada di kawasan itu memiliki potensi untuk menjadi bahan obat-obatan. Contohnya saja pada labi-labi ada zat yang sangat bermanfaat untuk penyakit jantung. Begitu juga dengan berbagai kekayaan lainnya yang memerlukan eksplorasi penelitian. Jadikan Riau sebagai pusat obat-obatan dunia,” begitu harapan Endang Sukara.

Semua itu bisa dan sangat mungkin dilakukan dengan mengembangkan konsep cagar biosfer. Di mana dulu, tambah Endang, diketahui bahwa kawasan konservasi hanya menjadi kewenagan Departemen Kehutanan hal ini perpanjangan tangganya adalah BBKSDA. Namun jika dengan konsep cagar biosfer, semua pihak bisa ikut andil dalam mengamankan dan membangun cagar biosfer secara bersama-sama.

Namun konsep cagar biosfer diakui Endang Sukara, Rahman Siddik, Purwanto (MAB UNESCO), Soebardjo (Direktur PT Arara Abadi yang dalam hal ini mewakili SMF) belum banyak dipahami.

Soebardjo bahkan memberikan tiga catatan. Pertama, menurutnya masih banyak yang harus dikerjakan, terutama untuk mensosialisasikan Cagar Biosfer GSK-BB. Pasalnya masih banyak yang belum paham dengan konsep cagar biosfer. Kedua, perlu duduk satu meja dalam menyusun rencana aksi. Mengingat banyak pertanyaan sesudah ditetapkan lalu apa yang harus dilakukan. Ketiga, perlunya sikap bijak terhadap kekhawatiran-kekhawatiran yang ada. Belum apa-apa jangan ditakut-takuti.

Rahman Siddik juga mengungkapkan jangan apriori dulu. “Silahkan memberikan masukan sebanyak-banyaknya untuk pengelolaan kawasan ini. Karena itu penting untuk memberikan masukan bagi upaya pengelolaan yang lebih baik. Namun jangan sampai apriori,” ujarnya.

Purwanto dari MAB UNESCO juga menambahkan masih perlu kerja keras utk menyatukan visi dan misi dan keinsyafan ekologis seperti yang dikemukan oleh Yusmar Yusuf, budayawan dan pemerhati lingkungan di Riau. Untuk itu menurutnya sosialisasi cagar biosfer harus lebih keras lagi. Kuncinya adalah adanya kemauan kerja keras dengan ikhlas untuk menjaga, memelihara dan mengembangkan kawasan tersebut. Untuk menuju ke arah tersebut, tambahnya, semua harus paham dulu makna dan manfaatnya. Oleh karena itu pendidikan lingkungan dan peduli alam perlu dilakukan bagi semua lapisan masyarakat di kawasan itu. Disamping itu perlu kerja sama, koordinasi, dan saling mendukung di antara para stakeholder kunci.

Selanjutnya sebagai kawasan konservasi yang memiliki legitimasi dunia, keberadaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu juga memiliki peluang untuk dijadikan kawasan yang mendapat donasi dari dunia. Namun untuk itu menurut Endang perlu kesungguhan dan kerjakeras kita semua untuk mendapatkan simpati masyarakat global. Peluang sekarang cukup terbuka.

Menurut Endang, program yang dirintis UNESCO Regional Office Jakarta untuk mendapatkan dan riset dan microcredit perlu terus dipantau agar Cagar Biosfer GSK-BB dapat ikut memanfaatkannya. Penggalangan dana global perlu terus diusahakan.
Semoga Riau bisa tampil di pentas dunia. Sumber : RiauPos

http://www.sungaikuantan.com

© Yama 2010